09 November | Oleh : Immanuel Osiyo
Saya menulis artikel ini dalam penerbangan Kuala Lumpur ke London, lumayan lah untuk mengisi waktu panjang ini. Apa yang saya tulis bukan acuan yang harus ditiru, karena ini merupakan pengalaman pribadi saat saya memulai bisnis dari NOL, tidak ada guru yang menemani, tidak ada motivator yang selalu memberi semangat, yang ada hanya tekad yang nekad ditambah dengan “pasrah bongkokan” kepada sang pencipta.
Saat saya memulai bisnis yang menjadikan besar seperti ini, bermula dari ruang keluarga di rumah pinjaman dari seseorang yang sangat peduli kepada hidup saya sekeluarga. Rumah yang besar di Sawojajar dengan 2 kamar tidur. Istri saya membuka warung kecil dan rujak cingur yang saat itu (tahun 1996) boleh dikata rujak termahal di sawojajar. Ya, semua kegiatannya di ruang tamu. Dari usaha kecil tersebut telah berkembang menjadi usaha katering di Bali. Perlu diketahui saat itu saya masih menjadi sopir bis Ladju di Pasuruan.
Bermula dari keinginan untuk mengubah nasib (mungkin), saya memberanikan diri untuk membuka usaha tour dan travel (padahal saya belum pernah tahu apa itu tour travel). Modal awal saya hanya 2 kotak kartu nama yang saya cetak di tempat fotocopy ruko sawojajar seharga Rp. 25.000,-/kotak dan 1 rim kop surat yang saya cetak di tetangga belakang rumah. Tidak ada telepon rumah/kantor, tidak ada handphone (tahun 1997), tidak ada komputer, semuanya apa adanya. Dalam membuka usaha tersebut tidak pernah terbesit bagaimana untuk memasarkannya, bagaimana mencari modal untuk membesarkan usaha tersebut. Semuanya berjalan apa adanya.
Saat mengawali menulis penawaran, saya ke rental komputer di dekat rumah. Saat konsumen menelepon kantor (eh rumah), yang berdering telepon tetangga belakang rumah. Dengan cekatan beliau (tetangga saya) memencet tombol bel yang tersalur langsung ke rumah saya, dan saya langsung berlari untuk menerima telepon dari konsumen. Begitulah hari-hari saya saat perintisan th 1997-1999. Semua apa adanya. Oh ya, saya baru mampu berlangganan telepon di bulan Juni 1998 dengan nomer telepon cantik 71 71 22, sehingga saya tidak mengganggu tetangga lagi. Belum mampu untuk beli mesin fax, jika harus kirim fax, cukup ke wartel di tetangga selatan rumah.
Saat punya telepon itulah mulai saya perbanyak souvenir ke konsumen berupa gantungan kunci. Lumayan juga banyak konsumen baru yang tahu dari gantungan kunci tersebut, sehingga order cukup banyak dan saya mampu beli komputer. Dari komputer baru tersebut muncullah ide yaitu bagaimana caranya orang telepon ke 71 71 22 sama persis telepon ke kantor-kantor perusahaan terkenal. Akhirnya saya dapat beli PABX yang tersambung dengan komputer, sehingga setiap konsumen telepon yang menerima adalah komputer dengan intonasi suara mirip operator telepon di perusahaan ternama. Padahal saat itu hanya di ruang keluarga dengan 1 meja, belum ada pegawai, hanya saya.
Sempat terpikir untuk membesarkan usaha tersebut dengan berhutang di Bank, tapi tidak berani, karena memang tidak ada barang apapun yang dijaminkan. Ide-ide gila tentang marketing mengalir begitu saja. Langkah-langkah berani telah membuat masyarakat tahu tentang perusahaan saya. Sedikit demi sedikit ada tabungan, dan tahun 2000 mulai ada karyawan yang membantu.
Untuk mendukung usaha tour travel, maka saya harus memiliki kendaraan. Akhirnya dengan memberanikan diri saya ambil kendaraan untuk pertama kali Mitsubishi ST 120 dengan cara berhutang. Sederhana saja, jika saya tidak bisa membayar, maka kendaraan tersebut yang akan diambil bank.
Dalam perkembangannya bisnis saya semakin berkembang pesat, dan puncaknya saat saya membuka jalur travel Malang-Juanda Super Pagi di tahun 2004. Maka seperti bom waktu, yaitu pertumbuhannya melonjak drastis, sehingga saya banyak membutuhkan kendaraan. Jika ambil lewat bank saya takut. Akhirnya saya mengajak investor dengan sistem kemitraan untuk bersama-sama mengembangkan bisnis tersebut (walaupun pada akhirnya mereka “mengkhianati” kerjasama tersebut di Agustus 2007).
Dengan bisnis yang luar biasa, teman menyarankan untuk berani mengambil hutang di Bank. Akhirnya saya pinjam sertifikat rumah orang tua untuk saya sekolahkan. Pikir saya bisnis saya lancar jaya aja. Dan saya ambil ruko di Dinoyo untuk kantor yang representative dengan cara kredit. Satu hal lagi saya inveskan di “POMAS”, sesuatu yang mengerikan yang ekornya masih terasa sampai hari ini.
Hutang di Bank memang baik, bisnis saya “sempat” melejit. Tapi terus terang saya tidak pernah memikirkan jika ada “KALAU”, yaitu kalau pasar sepi bagaimana, kalau jualan paket tour rugi bagaimana, kalau ini bagaimana, kalau itu bagaimana. Ya, “KALAU” tidak pernah saya perhitungkan.
Mimpi buruk terjadi. Yang pertama saat “POMAS” tumbang, hampir seluruh Malang tahu. Mimpi buruk kedua adalah “pengkhianatan” dalam perusahaan (maaf saya istilahkan seperti itu, karena susah untuk ambil istilah lain). Ketiga adalah Bandara Abdul Rachman Saleh dibuka. Dari 3 mimpi buruk tersebut akhirnya dengan susah payah mulut ini selalu berkata “maaf” jika dari Bank atau dari leasing mobil menanyakan angsuran. Sangat tersiksa. Selalu deg-deg setiap saat, takut tidak dapat membayar. Ruko yang sudah lunas terpaksa harus sekolah lagi, dan sampai hari ini saya mengangsurnya. Di beberapa leasing nama saya masuk kategori “hitam”, karena kendaraan sempat ditarik. Benar-benar tersiksa saat itu.
Dalam keadaan terjepit, terlalu naif jika saya harus menyerah. Paling tidak saya harus bertahan, sehingga saya harus berinovasi lebih dan lebih. Saya membuka cabang di kota-kota besar di Jawa, untuk menjaring konsumen khususnya untuk grup tour ke Luar Negeri. Puji Tuhan strategi itu mulai nampak hasilnya, sehingga saya dapat menutup hutang-hutang di Bank dengan baik. Walaupun molor dan denda keterlambatan yang cukup besar, saya telah menebus sertifikat rumah orang tua dan banyak hal saya bisa perbuat untuk menutup hutang di Bank.
Sekarang tinggal ruko yang masih kurang 15 bulan lagi dan akan saya telateni untuk mengangsurnya. Pernah satu kali saya tanyakan, “jika saya akan melunasinya, berapa yang harus saya bayarkan”. Betapa kagetnya saat mengetahui nominalnya. Ternyata saya harus membayar lebih banyak dari uang yang saya pinjam di Bank tersebut, padahal sudah saya angsur 19 bulan. Katanya kena pinalti (setahu saya pinalti itu di sepak bola..he..he), kena denda, dan sebagainya. Sakit rasanya, dan saya putuskan untuk tidak melunasi, tetapi biar aja mengalir setiap bulan saya mengangsurnya.
Dengan pengalaman berhutang , maka saya sekarang bertekad untuk tidak pernah berhutang lagi di manapun. Tentu tidak kaku ya, saya masih hutang di leasing untuk beberapa kendaraan, walaupun kendaraan yang lain telah dapat dibeli tanpa kredit. Saya juga menyisakan sedikit angsuran ruko serta rumah. Terserah orang ngomong apa, yang penting saya dan keluarga ingin menikmati hidup dengan indah dan pelan tapi pasti. Saya ingin mewujudkan suatu bisnis yang tanpa berhutang.
Saya hanya ingin hidup apa adanya. Dengan kantor yang sederhana di Malang, Surabaya, Mojokerto, Pasuruan, Yogja, Bandung, Batam, Balikpapan, Kuala Lumpur dan Ho Chi Minh, semua kantor tersebut berkembang tanpa dukungan finansial dari hutang. Saya hanya tegaskan bahwa tanpa hutang tetap mampu membuat bisnis menjadi besar (maklum ditahun 2007 sampai 2010 rumor diluar saya banyak hutangnya, dan saya kesulitan bayar). Rumor tersebut benar, betapa hutang sangat menyakitkan. Saat terjepit itulah saya ingin benar-benar lepas. Hutang dapat menjadi sahabat, saat bisnis bagus. Tapi saat “force majeur” datang, hutang dapat menjadi pembunuh nomer satu.
Tekad saya sekarang saya tidak akan meninggalkan warisan hutang kepada anak anak saya. Bisnis apa adanya ternyata menyenangkan, tinggal mengatur yang ada di kepala ini “ada apanya”. <au bertumbuh dinamis ataukah tetap statis tanpa inovasi apapun, semua terserah masing-masing pribadi.
Sekarang ini saya tetap tinggal di rumah pinjaman yang sederhana, karena saya beli tidak boleh, saya sewa tidak boleh, saya pindah ke rumah saya sendiri juga tidak boleh. 15 tahun saya tempati tanpa sewa. Dan saya tidak perlu pindah ke komplek elit, karena bagi saya hidup adalah kehidupan yang manis. Kalau 18 tahun lalu orang mengenal saya sebagai seorang sopir, maka saat ini orang tetap mengenal saya juga sebagai seorang sopir. Tak ada yang berubah, saya masih senang mengemudikan bus malam Malang-Denpasar, atau dari Kuala lumpur ke Singapore. Saya masih dapat menikmati nasi “empok” lauk sambal ikan asin yang nikmat. Bahkan sambal bajak istriku dan balado ikan teri tersimpan rapi untuk dapat aku nikmati di London dan Paris 6 hari ke depan. Senyum manis ini aku sampaikan untuk teman-teman dan sahabatku.
Hutang atau tidak hutang terserah masing-masing pribadi. Saya hanya berbagi dari pengalaman pribadi. Tetap semangat, karena Tuhan memberkati.